Gerbang krisis semakin dekat. Mereka berdiri di tempat itu, dirundung kecemasan. Real Madrid, hasil buruk, disusul buruknya penampilan, lalu penurunan performa. Hingga pertengahan musim 2017/2018, Real Madrid sudah tertinggal 16 poin dari Barcelona. Lubang hitam itu membesar, menyeret Los Blancos ke dalamnya.
Dua musim terakhir adalah milik Real Madrid, terutama ketika kita berbicara tentang kompetisi Eropa. Menjadi klub pertama yang memecahkan rekor menjuarai Liga Champions dua kali berurutan, skuat Madrid dianggap yang paling tangguh selama satu dasawarsa terakhir.
Perpaduan pemain muda dan senior, cara bermain yang sederhana, dan kebijakan rotasi. Kunci menjadi penguasa.
Dari lini belakang, Madrid diberkahi dengan dua bek sayap yang termasuk terbaik di dunia, Dani Carvajal dan Marcelo. Untuk posisi bek tengah, Sergio Ramos, bek tangguh itu, bersanding dengan Raphael Varane. Bek berarah Prancis ini dipandang sebagai salah satu bek muda terbaik di dunia, yang menyerap langsung ilmu bertahan kelas dunia dari Ramos.
Bergeser ke lini tengah, komposisi gelandang yang dimiliki Madrid merupakan perpaduan antara diri yang tangguh, pemain-pemain cerdas sebagai sumur kreativitas, dan ketajaman yang bisa diandalkan. Adalah trio Casemiro, Toni Kroos, dan Luka Modric, yang mengawal lini tengah Madrid. Luar biasanya, trio yang sudah sebagus itu, masih disokong pemain-pemain muda dengan potensi besar.
Kita tengah berbicara Mateo Kovacic, Dani Ceballos, hingga Isco Alarcon. Ketiganya merupakan penyaji kreativitas, ketajaman dari lini kedua, dan kemampuan mengendalikan permainan. Di atas kertas, masa depan lini tengah Madrid sudah terjamin.
Bergeser ke lini depan, trio BBC, Karim Benzema, Gareth Bale, dan Cristiano Ronaldo, adalah satu dari sedikit trio penyerang paling berbahaya di dunia saat ini. Ketika berada dalam performa terbaik, hampir tak ada bek lawan yang bisa menghentikan ketiganya. Tak hanya ketajaman, ketiga menghadirkan determinasi dan mental juara.
“Suasana surgawi” di atas hanya terjadi ketika semua personel, ditambah performa pelatih, berada di level tertinggi. Namun nyatanya, tak ada yang abadi di sepak bola. Seperti dua sisi koin, seperti cuaca yang datang silih berganti. Kejayaan, berjalan bergandengan dengan keterpurukan. Masa-masa bahagia, bersanding dengan krisis.
Mengapa?
Di atas kertas, Madrid adalah tim terbaik. Namun di atas lapangan, Los Merengues tak berbeda dengan semua klub di dunia. Manusia yang bermain berkawan karib dengan kesalahan. Dan di sepak bola, penurunan performa tak bisa dihindari. Situasi semakin runyam ketika karib penurunan performa datang menyapa: cedera.
Dimulai ketika Carvajal harus menepi cukup lama karena cedera. Mulai dari cedera otot, hamstring, hingga masalah pada jantungnya. Setelah Carvajal, menyusul Varane dan Marcelo. Ketika anggota tim utama tak bermain, pemain pelapis belum bisa menyajikan level performa seperti yang diharapkan.
Masalah yang sama terjadi di dua lini lainnya, tengah dan depan. Kovacic terutama, yang sungguh jarang mendapatkan menit bermain, kesulitan mencapai kembali level terbaik seperti ketika berseragam Internazionale Milano. Ceballos? Pemain muda Spanyol yang menonjol di Piala Eropa U-21 tahun lalu itu pun tak mendapatkan kepercayaan seluas yang diharapkan.
Kemampuan di atas kertas, hanya akan menjadi sebatas catatan “di atas kertas” saja ketika si pemain tak mendapatkan kesempatan yang dibutuhkan. Situasi ini menjadi masalah besar ketika pemain dari tim utama membutuhkan rotasi.
Musim lalu, ketika Madrid hampir tak terbendung, Zinedine Zidane bisa melakukan rotasi. Kebijakan yang menjadi kunci tangguhnya Madrid di Liga Champions.
Musim lalu, ketika bermain di La Liga atau Copa del Rey, Zidane bisa mengistirahatkan hingga sembilan pemain utama dan memberi kepercayaan kepada Alvaro Morata, James Rodriguez, Danilo, hingga Pepe. Pemain-pemain “berkualitas” yang hengkang di awal musim 2017/2018. Pemain-pemain “berkualitas” yang tak menurunkan kualitas tim.
Pemain-pemain yang hengkang tersebut, didukung pemain-pemain muda yang melesat ketika mendapatkan kepercayaan. Kita tengah berbicara Isco dan Marco Asensio. Ketika Bale cedera, Isco menjadi pengganti yang tak hanya “sepadan”, namun memberi dimensi yang berbeda. Asensio, kemunculannya tak terduga, tak terbaca lawan.
Ketika performa kelas dunia dua pemain ini sedikit demi sedikit menurun, Madrid tak punya solusi. Perlu menjadi catatan, Madrid tak punya pengganti langsung, dengan kualitas yang tak jauh, untuk Ronaldo, Bale, dan Benzema. Situasi ini bisa menjadi “krisis baru” ketika Madrid akan dipaksa berbelanja dalam jumlah luar biasa besar untuk mencari penerus ketiganya.
Bibit-bibit krisis itu sudah terasa ketika Madrid tak punya solusi mengembalikan ketajaman Benzema dan Ronaldo. Borja Mayoral, yang menjadi pengganti Morata, tak mendapatkan kepercayaan seluas mungkin untuk bermain. Segala keputusan untuk terus memainkan Benzema dan Ronaldo ketika keduanya tengah puasa gol menjadikan sorotan mengarah kepada Zidane.
Ke mana kebijakan rotasi yang membuat Madrid tetap segar seperti dulu? Ke mana variasi cara bermain yang membuat Madrid semakin berbahaya ketika mendapatkan tekanan?
Ketinggalan 16 poin dari Barcelona di La Liga adalah alarm yang berbunyi nyaring. Jika respons terbaik tak bisa ditunjukkan Zidane, lubang hitam itu akan menelan segalanya. Menjebak Madrid ke dimenasi yang asing bagi mereka: dimensi krisis!
Penulus : Yamadipati Seno, Koki Arsenal’s Kitchen (@arsenalskitchen)
No comments: