Jika pertanyaan di atas ditanyakan kepada penulis, maka jawabannya adalah Tahun Sepakbola. Atau mungkin sedikit lebih luas 2018 adalah Tahun Olahraga. Di level dunia ada ada pesta sepakbola dunia (World Cup 2018) dan di level Asia ada pesta olahraga multi event Asia Games di Jakarta. Soal politik dan pilkada banyak yang memprediksi bahwa suhu politik akan memanas. Adalah Jusuf Kalla, politikus senior Golkar, sang Wapres, dengan enteng berseloroh: “Hangat di pembicaraan tapi tetap dingin di lapangan. Semua akan mengalir dan pada saatnya akan dingin kembali”. Sebuah statement pemimpin yang menenangkan.
Tahun 2017 sudah berakhir. Jejak-jejak waktu di tahun 2017 secara highlight dengan mudah dan cepat dapat ditelusuri dengan membuka galeri foto dan status di media sosial. Lalu, selamat datang 2018. Optimisme dan harapan harus tetap dirawat. Setidaknya 171 daerah akan menggelar pemilihan langsung kepala daerah (Pilkada), terdiri dari 17 provinsi, 39 kota dan 115 kabupaten. Parpol yang mengusung bakal calon kepala daerah akan memosisikan kemenangan Pilkada sebagai “babak kualifikasi” dan fondasi untuk sukses dalam Pemilihan Legislatif dan Pemilihan Presiden yang akan digelar serentak di Tahun 2019. Tahun 2018 adalah tahun politik.
Dalam sebuah ulasan ekonomi 2018 disebutkan Belanja Pemerintah di Tahun 2018 adalah APBN rasa Populis. Begitu banyak anggaran diecer langsung ke masyarakat. Semuanya sah-sah saja. Toh selama memberi dampak langsung kepada masyarakat lapis terendah, akan lebih memberi dampak luas, dibanding stimulus dan insentif yang diberikan kepada pelaku ekonomi kelas atas.
Lalu, apakah yang menarik selain melulu soal politik di Tahun 2018? Setidaknya ada dua lagi momentum yang sejak sekarang di beberapa spot dibuat hitung mundur (countdown) yaitu: World Cup 2018 di Rusia dan Asian Games ke-18 di Jakarta dan Palembang. Lalu pertanyaan lanjutannya, manakah yang lebih menarik dan menghibur? Politikkah? Sepakbola? Tentu akan ada banyak jawaban. Masing masing akan menjawab dengan argumentasi dan analisisnya masing masing.
Bagi penulis sendiri membuka peluang bahwa kedua-duanya menarik dan justru ada benang merahnya. Bagi Sindhunata, seorang filosof yang juga seorang jurnalis, sepakbola adalah sumber inspirasi dalam banyak hal, termasuk dalam politik. Dari catatannya kita bisa mengurai satu persatu hubungan antara sepakbola dengan sosial, ekonomi, politik, psikologi, filsafat atau apapun itu. Sindhunata dalam tulisannya, politik yang akan mewarnai sepakbola ataukah sebaliknya: sepakbola akan melebur hiruk pikuk politik menjadi sebuah hiburan?
Antara Cristiano Ronaldo, Ridwan Kamil dan Jokowi
Ada yang tidak mengenal tokoh tokoh di atas? Dalam banyak hal, ketiga tokoh ini adalah sesungguhnya “pemain bola yang berpolitik” atau Politikus yang paham Sepakbola. Ronaldo, striker Tim Nasional Portugal dan Klub elit Real Madrid, adalah peraih FIFA Ballon D’Or, penghargaaan pemain sepakbola dunia terbaik sejagat. 4 tahun berturut turut. Dengan penghasilan Rp 5,3 T setahun dan 120.582.603 pengikutnya di media sosial. Dengan kepemimpinnya, Portugal justru menjadi Juara Eropa bukan pada saat menjadi tuan rumah tahun 2012. Tapi Justru di Tahun 2016. Melawan Perancis yang menjadi tuan rumah dan menjadi unggulan. Kemampuannya memotivasi saat detik detik akhir final dari bangku cadangan, adalah ibarat pemimpin politik yang berdiri di tengah tengah krisis politik. Maka saat itu, Cristiano Ronaldo adalah “presiden” Portugal. Lalu adakah yang mengenal nama Presiden Portugal? Jangan jangan ada yang menyebut Cristiano Rinaldo, presidennya.
Lalu Ridwan Kamil, seorang arsitek profesional yang kemudiaan menjadi Walikota Bandung. Salah satu kandidat kuat Gubernur Provinsi Jawa Barat dalam Pilkada 2018. Seperti Cristiano Ronaldo: ganteng, smart dan lihai memaksimalkan media sosial dengan follower 3.256.122. Ide-ide nya dalam membangun Kota Bandung seperti skill dribling dan shooting Ronaldo atau Lionel Messi dalam memanfaatkan untuk menjadi gol dalam setiap pertandingan. Selalu menjadi pembeda dan solution maker di tengah kejenuhan dan kebuntuan suatu rutinitas dalam pakem pembangunan yang “business as usual”. Sebagai Walikota Bandung dan juga pendukung Persib, ia dengan lihai memanfaatkan eforia kesuksesan Persib menjadi juara Liga Indonesia untuk larut bersama bobotoh yang juga adalah “potential voter” yang besar.
Sementara Joko Widodo, adalah pemain dengan tipikal pekerja keras. Ahli Percepatan. 5 Tahun cukup baginya untuk meraih jabatan politik yang “wah” : Walikota Solo, Gubernur DKI Jakarta dan Presiden Republik Indonesia dengan penduduk 250 juta jiwa. Meski berperawakan kurus, “klemat klemot” khas orang Jawa Solo, Jokowi adalah antitesa dari agresivitas gol Cristiano Ronaldo atau sang Walikota Ridwan Kamil yang elegan. Maka Jokowi adalah tipikal pemain bertahan (defensif). Dalam sistem defensif ini, pemain hanya betah di daerahnya sendiri. Bertualang di daerah lawan sebisa-bisanya diminimalkan. Ide untuk membuat dan menentukan permainan, inisiatif untuk menyerang, memprovokasi agar lawan juga menunjukkan pola permainannya, semua adalah “larangan” dalam birokrasi sistem defensif. Sebaliknya, menanti dan mengharapkan lawan melakukan kesalahan, menanti kesempatan “counter”. Jokowi dengan sabar dan setia dibarisan belakang dan mampu mengoptimalkan semua pemain lain di semua lini untuk membentuk tim yang solid dan produktif. Lawan lawan politiknya takluk secara pelan pelan. Ibarat Timnas Italia, menjadi Juara Dunia 2010 atau tim non unggulan Estonia di Piala Dunia 2018 mendatang.
Tahun 2018: Siapakah Jadi Pemenang?
Lalu pertanyaannya, di Tahun Politik, di Pilkada 2018, apakah era politik menyerang atau justru kemenangan bagi politik bertahan? Apakah Cristiano Ronaldo akan kembali berjaya di Wold Cup Rusia? Yang jelas Belanda, atau identik dengan Ahok, sang penganut filosofi menyerang (total football), termakan oleh stareginya yang over agresif. Tetapi juga di sisi lain, Timnas Italia, sang penganut ketat politik bertahan sudah gugur di putaran final. Apakah ini bertanda pemain bertahan seperti Jokowi akan seperti itu? Ataukah kejayaan bagi penganut politik populis ala Ridwal Kamil?
Menurut Penulis, di tengah kegalauan yang amat sangat, makin lebarnya antara keinginan dan tuntutan kebutuhan, tekanan ekonomi yang makin berat, inflasi yang tidak terkendali, suku bunga bank yang tidak stabil, pajak yang makin mencekik, maka banyak ahli ekonomi dan futurolog yang memprediksi ekonomi akan bergerak realistis dan bahkan cenderung pesimistis. Para penonton, para pemilih, ataupun masyarakat kebanyakan akan lebih mudah menyukai dan menerima “janji-janji” politik dan strategi permainan yang populis. Permainan politik yang santun dan menenangkan. Yang mampu bertahan dan memaksimalkan kemampuan yang ada untuk mencapai impian impiannya. Sabar bertahan tetapi juga lihai menyerang pada saat saat yang tepat.
Siapakah dia pemenangnya? Kita tunggu saja dan catat tanggal mainnya. Pilkada serentak telah dimulai sejak proses pendaftaran peserta awal Januari 2018 dan akan memuncak pada pemungutan suara 27 Juni 2018. Sementara World Cup 2018 telah memilih 32 peserta putaran final dan akan saling bertarung dari 14 Juni-15 Juli 2018.
Melihat puncak eskalasinya hampir berdekatan, sepertinya berita Pilkada dan World Cup akan saling merebut headline media massa dan hiruk pikuk di media sosial di medio Juli-Juli mendatang. Menurut penulis, situasi psikologis antara pencinta sepakbola dan penikmat politik akan berjalan linier. Tahun 2018 apakah tahun politik atau tahun sepakbola? jawabannya adalah akan bertemu dalam satu benang merah bahwa sepakbola atau politik akan indah apabila prosesnya berjalan dalam suasana yang jujur (fair play), saling menghormati (respect), dan antidiskriminasi dan SARA.
Penulis : M. Ramadhani
No comments: